70 tahun Ham dan Nasib Orang Asli Papua

Oleh Timotius Murib

MAJALAHWEKO, JAYAPURA – 10 Desember 2018 diperingati sebagai perayaan 70 tahun deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia telah menjadi sebuah suara global dan komitment bersama. Ini menjadi tanda bahwa hak asasi manusia sebagai cahaya yang menyinari gerakan bersama untuk martabat, kesetaraan dan kesejahteraan. Tetapi bagaimana dengan situasi hak asasi manusia di tanah Papua?

Situasi hak asasi manusia di tanah Papua tidak terlepas dari konflik politik antara orang asli Papua dan aparat Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara historis dilatarbelakangi oleh perjuangan orang asli Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri sebagai bangsa dan negara Papua Barat, atau dalam bahasa hak asasi manusia disebut hak penentuan nasib sendiri. Selama puluhan tahun, perjuangan hak penentuan nasib sendiri tetap menjadi cita-cita perjuangan berbagai kelompok, yang bergerak seperti spiral dari Utara ke Selatan, dari kepulauan dan pantai ke pegunungan, dan dari kelompok-kelompok berpendidikan rendah ke kaum terpelajar, terutama lulusan perguruan- perguruan tinggi di Tanah Papua, serta segelintir lulusan perguruan tinggi di luar negeri.

Menurut Dr. George Junus Aditjondro, ada dua hal, mengapa perjuangan hak penentuan nasib sendiri orang asli Papua tetap awet. Pertama, bayangan kemerdekaan ‘Papua Barat’ merupakan muara dari ketidakpuasan-ketidakpuasan orang asli Papua, karena merasa bahwa kebudayaan mereka, aspirasi politik mereka, dan kesejahteraan ekonomi mereka tidak dihargai oleh aparatur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketidakpuasan itu meledak di saat-saat tokoh-tokoh Papua yang memperjuangkan identitas dan kemerdekaan Papua Barat lewat jalan damai, seperti Arnold Clemens Ap dan Theys Hiyo Eluay, meninggal di tangan aparat militer Indonesia, masing-masing pada tanggal 26 April 1984 dan 10 November 2001. Kedua, sikap pemerintah Indonesia dan sebagian warga Indonesia serta sebagian besar kaum pebisnis, bahkan rohaniwan terhadap penduduk asli di Tanah Papua tidak terlepas dari rasa superioritas, bahkan rasialisme, sehingga orang asli Papua tidak merasa diperlakukan sebagai sesama manusia dan sesama warga Indonesia, di mana hanya tanah mereka dianggap berharga bagi pemerintah, para investor, dan para pebisnis, sementara manusia Papua dianggap tidak berguna, dan perlu sebanyak mungkin digantikan oleh transmigran, migran spontan, dan tenaga kerja trampil dari luar Tanah Papua (Aditjondro 2004).

Hemat penulis, point kedua ini menjadi penyebab utama dari kekerasan dan pelanggaran hak asasi orang asli Papua di tanah Papua. Indikator utama tebalnya rasialisme terhadap orang asli Papua dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni pendekatan keamanan dan pendekatan politik pembangunan ekonomi.

Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk merespon gerakan hak penentuan nasib sendiri dari orang asli Papua menjadi wajah rasisme di tanah Papua. Kenyataan ini dapat disaksikan dari sejumlah kasus penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan para aktivis politik Papua. Sementara pendekatan politik pembangunan ekonomi dapat dilihat dari kenyataan bahwa sejumlah proyek pembangunan, baik itu proyek infrastruktur, ekstraktif industri seperti industri sawit, kehutanan dan pertambangan, tanpa berkonsultasi dengan orang asli Papua sebagai penduduk asli sehingga orang asli Papua tidak mendapatkan manfaat dari sejulah proyek pembangunan ekonmi dan melihat proyek pembangunan di tanah Papua sebagai upaya menargetkan sumber daya alam Papua, mengontrol populasi orang asli Papua, mendatangkan lebih banyak kaum pendatang dan mendirikan pos-pos militer.

Apa solusi untuk menjawab persoalan rasisme sebagai akar dari kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua? Kelompok Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan Damai Papua menawarkan konsep dialog Jakarta – Papua dengan membuat sebuah “Road Map” untuk mengatasi masalah di tanah Papua. Dr. Neles Tebai, seorang rohaniwan Gereja Katolik dan intelektual Papua terlibat dalam suatu usaha untuk memprakarsai serta mengembangan kerangka dialog, tetapi itu terasa sulit sekali. Di satu pihak, ada kekompakan antar faksi perjuangan politik Papua sedang bertumbuh dan bersatu membentuk kelompok United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan mendorong perjuangan hak penentuan nasib sendiri dalam mekanisme dan sistem international, namun di lain pihak akhir-akhir ini Pemerintah Indonesia menilai bahwa ‘keinginan dialog’ ini berbau politik dan malahan membahayakan eksistensi negara sendiri. Pada kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono ‘Dialog’ digantikan dengan “komunikasi konstruktif” yang kesannya lebih berfokus pada evaluasi Otsus serta audit penggunaan uang Otsus, dan ide ini masih terus dihidupi oleh sejumlah elit politik di Jakarta dalam mendiskusikan berakhirnya masa berlaku Otonomi Khusus di tanah Papua. Pada kepemimpinan Jojo Widodo kini, “dialog” diartikan sebagai “dialog sektoral” yang kesannya lebih berfokus pada evaluasi dan monitoring proyek-proyek pembangunan eknomi , infrastruktur, program kesehatan, dan program pendidikan. Situasi demikian itu sangat disesali karena dengan demikian suatu initisiatip yang sangat konstruktif ditolak dan pintu terbuka lebih lebar lagi demi rasisme dan radikalisasi, maka tidak mengherankan bahwa akhir-akhir ini lebih terdengar ‘suara referendum’ daripada ‘suara dialog’.

Dalam keadaan demikian masa depan orang Asli Papua, khususnya mereka yang tinggal di kampung-kampung, makin hari makin kehilangan pegangannya, makin kehilangan identitasnya, dan makin binggung. Siapa masih memperhatikan hidup saya? Perasaan ini masih hidup dan diperkuat dengan pengalaman bahwa hidup di Papua didominasi pendekatan keamanan serta pengelompokan (stigmatisasi) dalam yang pro- dan kontra NKRI. Kebenaran tidak dicari lagi, namun semua diminta mempercaya kebenaran yang dirumuskan pihak yang berkuasa, sebagai satu satunya yang benar. Perasaannya bahwa tidak dapat dilawan. Perasaan jengkel pelahan-pelahan terubah menjadi perasaan kelumpuhan dan tak berdaya. Yang dianggap wajar oleh masyarakat dinilai pihak Pemerintah Indonesia yang tidak wajar, dan sebaliknya.

Harapannya, Majelis Rakyat Papua dapat memelihara keseimbangan dalam memperhatikan pelanggaran HAM sipil & politik, maupun pelanggaran HAM ekososbud. Perhatian yang seimbang terhadap kedua bidang HAM itu, akan lebih mencuatkan dialektika di antara kedua jenis HAM itu. Pembelahan HAM dan pemberdayaan HAM harus berjalan seiringan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi Majelis Rakyat Papua membentuk Paniatia Khusus HAM untuk bidang hak-hak sipil dan politik dan Panitia Khusus HAM untuk bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kedua Panitiah khusus MRP ini memberi perhatian pada pendokumentasian kasus pelanggaran ham dan membuat rekomendasi-rekomendasi untuk proses perlindungan hak-hak orang asli Papua, khsusunya kasus- kasus pelanggaran HAM di Kabupaten Nduga, Lani Jaya, Pegunungan Bintang, Timika, Paniai dan Merauke. Sehingga dialektika antara pelanggaran HAM ekososbud dan HAM sipil & politik, dapat menjadi perhatian bersama dari semua pemangku kepentingandi Tanah Papua.

Dan untuk mendukung upaya ini, pada tahun 2019 hingga 2022, Majelis Rakyat Papua akan menyelenggarakan program-program pelatihan HAM untuk mempertajam kemampuan penelitian dan penulisan laporan, supaya kegiatan advokasi terhadap hak-hak orang asli Papua lebih tajam. (http://www.tabloidjubi.com)

Penulis adalah Ketua Majelis Rakyat Papua

Tinggalkan komentar